TUKANG TAMBAL BAN. Kisah toleransi dan kekuatan hati

Cerita menarik ini ditulis oleh senior saya ditempat kerja yang dulu, “Dedi Darmawan”. Kata Pak Dedi Darmawan yang telah memberi i...





Cerita menarik ini ditulis oleh senior saya ditempat kerja yang dulu, “Dedi Darmawan”. Kata Pak Dedi Darmawan yang telah memberi ijin untuk saya posting di kompasiana, cerita ini kisah nyata. Berikut ceritanya. Saya, Edison Siregar demikian disebutkan namanya si tukang tambal ban dipinggir jalan Pondok Cabe dekat Pamulang. Saya kenal dengan Edison Siregar sudah lama ketika lebih 5 tahun lalu, saya berkunjung ke kediaman sejawat ditempat kerja di Pamulang Selatan dan pulangnya hujan besar. Sesaat setelah keluar dari perumahan teman di salah satu perumahan di Pamulang Selatan itu, mobil yang saya kendarai terasa agak berat dikendalikan, ternyata ban mobil sebelah kanan depan, mulai kempes.  Karena kendaraan yag saya kemudikan tidak tersedia ban cadangan, saya paksakan mengendarai mobil itu untuk mencari tukang tambal ban.

 Setelah berjalan agak jauh akhirnya saya bertemu juga dengan ban bekas yang digantung dengan tulisan tambal ban. Sore itu sedang hujan deras sekali dan tidak ada seorangpun tampak dikios kecil tambal ban dipinggir jalan itu. Tapi mobil yang saya kemudikan tetap saya hentikan didepan kios. Hujan masih turun derasnya, entah dtang dari mana tiba tiba saja ada seorang pemuda kekar berkulit agak legal, berlari keluar dari kios kecil itu hujan hujanan tanpa payung, hanya dengan selembar pelastik menutupi kepalanya yang berambut agak gondrong. Saya langsung merasa sedikit khawatir, tetapi saya tetap  membuka kaca jendela mobil, ketika si gondrong mendekat dan mengetuk kaca pintu, kemudian menyapa sambil menunjuk ban mobil depan sebelah kanan yang saya kemudikan kempes, “bapak mau tambal ban?” Saya jawab, iya bang (berusaha akrab dengan memanggil abang, karena yakin betul pasti si gondrong ini orang Medan dari logatnya saat menyapa tadi), “tapi bagaimana dihujan besar begini bang?” saya tanya lagi. “Bapak tenang saja” jawabnya, saya bisa tambal ban mobil bapak yang kempes itu (dengan logat batak), karena baru bapak ini seharian yang tambal ban disini (masih dengan logat batak yang melemah).

 Saya jadi spontan menjadi trenyuh, hampir saya suruh tambal semua ban mobil saya, keempat empatnya walaupun tidak bocor, tapi saya khawatir juga si gondrong tersinggung. Kemudian entah bagaimana caranya si gondrong itu mengerjakan saat hujan hujanan dan saya tidak turun dari kendaraan, saya tetap didalam mobil, akhirnya si gondrong mengetuk kaca mobil lagi, bapak sudah selesai bannya ku tambal (dengan logat medan yang penuh semangat dan muka berseri seri). “Berapa bang saya harus bayar”, saya tanya? Si abang menjawab sambil menunduk, “15 ribu saja pak”. Saya segera sodorkan uang lembaran 50 ribu rupiah. Ini bang ambil semua, kembalinya untuk abang saja. “Tidak pak jawabnya, hanya 15 ribu”, bapak tunggu sebentar ya, si gondrong berlari ke kiosnya.. Saya sebenarnya ingin meninggalkan lokasi itu, tapi saya kok penasaran dengan si gondrong.

Cukup lama saya menunggu, ketika terlihat dia ternyata berlari lari lagi dari arah agak jauh, bukan dari kiosnya. Katanya maaf pak, saya tukar dulu uang bapak ditoko depan sana, maaf ya bapak sudah menunggu lama sambil menyodorkan uang yang mungkin 35 ribu, yang sama sekali tidak basah kena hujan. Setelah mengucapkan terima kasih, si pemuda berkulit legam tadi meninggalkan saya dihujan hujan kembali ke ke kiosnya dengan muka cerah tidak lepas dari wajahnya. Saya agak lama tercenung, kemudian termenung, memanndang kios kumuh tukang tambal ban dipinggir jalan dibilangan Pamulang itu. Saya kemudian spontan kenapa juga membandingkannya dengan diri saya yang duduk diatas mobil sedan cukup bagus, sejuk karena ber AC, didompet saya ada uang cukup, belum lagi kartu kredit dan kartu ATM yang saldonya juga cukup banyak, sementara si abang, katanya dari pagi sampai sore hari itu baru satu ban kempes yang ditambal, diberi lebih tidak mau menerimanya. 

Saya jadi semakin merenung, tidak terasa meneteskan air mata saya,  bukan cengeng, tetapi bersyukur, dijaman seperti ini, membayangkan masih ada orang disaat bisa jadi dikantongnya tidak ada uang masih bisa menolak pemberian lebih dari apa yang seharusnya diterima. Tanpa disadari ternyata saya membuka pintu mobil ditengah hujan lebat itu, turun, berbasah basah, saya tiba tiba saja ingin tahu siapa sebetulnya si gondrong. Saat saya kedalam kios tanpa mengetuk pintu, si abang gondrong sedang menyerahkan dua lembar uang kertas kepada seorang perempuan yang sedang memangku anak kecil sedang tertidur. Saya berdiri lama sambil menunduk, karena kiosnya si abang tidak terlalu tinggi atapnya. Tiba tiba kedua oaring itu secaa bersamaan menengok kearah saya terkejut, ada orang lain dalam kios.   Saya berkali kali meminta maaf, karena tekahmasuk kedalam kiosnya tanpa mengetuk dulu.  Mereka tersenyum sambil menpersilahkan saya duduk di dipan, tempat duduk satu satunya didalam dikios itu. Si perempuan istrinya bergegas keluar kios, padahal hari masih hujan, membuat saya tidak sadar berteriak keras sekali, Ibu… jangan pergi, saya hanya mau ikut sholat magrib, terucap karena terdengar adzan magrib saat itu, yang bukan karena itu alas an sebenarnya. Istri si gondrong tidak jadi keluar kios, kemudian membuka tikar sambil berucap, “bapak kami kristiani, jadi tidak ada alas sholat yang layak untuk bapak, tapi kami ada tikar bersih yang bisa bapak pakai”. 

Tikar yang masih terbungkus plastik, tikar kecil. Selesai sholat kami masih bincang bincang banyak, tidak terasa ternyata lebih dari tiga jam saya berada dalam kios itu, hampir jam 10 malam, jalan sudah sangat sepi. Edison Siregar, si tukang tambal ban di bilangan Pamulang Selatan, itu bercerita jika sejak pergi meninggalkan kedua orang tuanya di Tarutung, dia hanya bisa kerja menjadi tukang tambal ban karena sekolahnya cuma Sekolah Dasar, itupun tidak selesai.   Jika kebetulan ada waktu jalan ke Ciputat ke Sawangan, dari arah Jakarta, disisi sebelah kanan jalan, ada kios tambal ban dengan tulisan diatasnya Edison's yang disebelah kirinya lagi ada toko tidak besar, toko beras dengan berbagai macam sembako, yang selalu ramai dikunjungi pelanggan itulah mereka. 

Kios tambal ban Edison yang sudah agak lebih besar dari sebelumnya, tampak kiosnya sudah dilengkapi dengan peralatan tambal ban dan beberapa payung, saat saya sempat kembali lagi kesana beberapa waktu lalu ternyata Edison sekarang sudah tidak lagi gondrong seperti dulu.   Tambal Ban Edison sekarang sudah dibantu dua orang anak muda Sawangan. Edison mengatakan dia ingin beramal membantu ban mobil yang tiba tiba kempes. Ternyata istri Edison juga sudah membuka toko sembako.  Pelanggannya orang orang disekitarnya yang tidak mampu membayar kontan. Anak kecil yang dulu dipangku istrinya, sekarang sudah kelas dua SD, kata istri Edison. Tampak sekali mereka saat ini hidup sangat bahagia. Jakarta, 19 Desember 2016 Salam sukses untuk kita semua. Aamin. 

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/andika/sholat-magrib-di-kios-tukang-tambal-ban-yang-ternyata-kristiani_5857f5368523bded6d1558ce

Related

Terkini 1370606004423770356
Powered by Investing.com

TELEGRAM SAHAMPEMENANG

SAHAMPEMENANG PREMIUM

CNN Indonesia | Berita Ekonomi

Suara.com - Berita Terbaru Bisnis

Finansial - ANTARA News

okezone bisnis

Ekonomi - VoA

BUMN Untuk Indonesia - ANTARA News

Tempo Bisnis

Liputan Ekonomi VOA

Bursa - ANTARA News

Bisnis - ANTARA News

Ekonomi - ANTARA News

Berita Terkini - ANTARA News


item