SAHABAT-SAHABATKU (MUSLIM) YANG MURAH HATI

Di kalangan umat Kristen, kisah orang Samaria yang murah hati, sangat populer. Kisah atau cerita itu dituturkan Yesus Kristus saat para...


Di kalangan umat Kristen, kisah orang Samaria yang murah hati, sangat populer. Kisah atau cerita itu dituturkan Yesus Kristus saat para ahli agama (ulama) “menguji” sampai sejauh mana kadar toleransi  Yesus Kristus.
Cerita Yesus Kristus itu membungkam para ulama licik (pada saat itu) yang mencurigai Yesus dan komunitasnya sangat eksklusif dan menyebarluaskan ajaran yang dianggap sesat. Intinya, lewat penuturan “orang Samaria yang murah hati”, Yesus Krsitus menunjukkan bahwa Ia dan para pengikut-Nya menjunjung tinggi semangat pluralisme. Tanpa sekat. Tanpa jarak.
Orang Samaria pada saat  itu oleh orang-orang Yahudi dianggap sebagai (maaf) kafir dan munafik.
Kisah orang Samaria yang murah hati itu, setidaknya menurut saya, sangat pas dengan situasi saat ini di mana keberagaman atau keberbedaan terkadang dianggap oleh sementara kalangan (termasuk umat Kristen) sebagai sesuatu yang naif, dan karenanya “perbedaan” itu sebisa mungkin dikobar-kobarkan sebagai “kami” dan “mereka” atau “kami di sini” dan “kamu di sana.”
Kita (orang Kristen) selayaknya bersyukur, sebab Tuhan menempatkan kita di Indonesia yang mayoritas penduduknya penganut Islam – bahkan terbesar di dunia – yang taat beriman dan menjalankan ajaran kasih yang populer dengan sebutan “rahmatan lil alamin” (rahmat dan berkat bagi semua makhluk).
Saya percaya, umat Islam di negeri ini sangat patuh pada semangat bercinta kasih itu (rahmatan lil alamin) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga di sekitar kita yang tampak di depan mata kita adalah orang Islam yang murah hati, meskipun berbeda konteks dengan cerita orang Samaria di atas. Ya, berbeda konteks, sebab orang Islam yang murah hati di sini tidak berkorelasi dengan kafir alias tidak beriman kepada Tuhan Yang Esa, sama seperti kita umat Kristen yang juga bukan kafir.
Jika keberadaan kita di Indonesia dihitung dari saat negeri kita merdeka 71 tahun yang lalu, maka selama itu pulalah kita bergaul dan bergumul dengan saudara-saudara kita umat Islam yang baik dan murah hati.
Mari, kita jangan gunakan debat kusir di media sosial, caci maki, atau (maaf) anti-Ahok yang kini ramai di Jakarta menjelang pilkada sebagai referensi untuk melihat Islam di negeri ini.
Tengok dan rasakanlah kehangatan tetangga kita. Di sini kita akan benar-benar menemukan orang Islam itu benar-benar murah hati, berbaur tanpa sekat. Saya masih ingat betul saat ayah saya yang seorang pendeta meninggal dunia di Semarang belasan tahun lalu, pengurus masjid  mensyiarkan kabar meninggalnya ayah saya lewat pengeras suara masjid. Tetangga pun berbondong-bondong melayat, bahkan mengikuti prosesi pemberangkatan jenazah ke pemakaman.
Begitu saya pindah ke Jakarta (Jabodetabek), saya berpikir dan bersuuzon semangat Islami penganutnya telah terkikis atau sebaliknya semakin radikal. Dugaan saya keliru besar. Kasih yang rahmatan lil alamin tetap dipegang teguh, termasuk dalam hal bertenggang rasa.
Sebulan lalu tetangga (satu keluarga) saya di Tangerang akan menunaikan ibadah haji dan akan mengadakan ucap syukur (pengajian). Secara khusus, ia mendatangi saya dan menyampaikan izin sekaligus permohonan maaf karena dalam acara pengajian itu akan menggunakan pengeras suara. “Maaf, ya, Pak kalau Bapak kebrisikan,” katanya.
Di tempat pekerjaan pun, saya menemukan banyak orang Islam yang murah hati. Sejak saya bekerja hingga purna-tugas, tak seorang pun teman Muslim yang membenci, apalagi memusuhi saya. Bos saya yang Islam – dari Aceh pula – begitu adil, bijaksana dan berahmat dalam memimpin dan mempekerjakan kami.
Itu adalah contoh sederhana betapa orang Islam di sekitar kita baik dan murah hati. Dalam konteks yang lebih besar, rahmatan lil alamin itu juga saya saksikan saat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memimpin Jakarta dan akan mencalonkan kembali sebagai gubernur DKI periode 2017-2022.
Sebagaimana kita ketahui Ahok punya dua “kesalahan” yang tidak ia sengaja: keturunan Tionghoa dan Kristen. Namun, ia begitu diterima secara terbuka oleh warga Jakarta yang sebagian  besar penganut agama Islam yang rahmatan lil alamin.
Suatu hari saya menyaksikan sendiri bagaimana Ahok dielu-elukan banyak orang setelah dia dan Djarot mendaftarkan diri sebagai cagub-cawagub di KPUD DKI Jakarta. Saat itu dia mampir ke markas salah satu partai yang mendukungnya di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.
Yang perempuan sebagian besar berhijab. Mereka berebut bersalaman dan berselfie dengan Ahok. Pemandangan persaudaraan semacam itu juga banyak kita saksikan saat Ahok berkunjung ke sekolah-sekolah. Di sana, para murid perempuan – sebagian besar, bahkan semuanya – berjilbab berteriak histeris ingin bersalaman dengan Ahok.
Terakhir pemandangan sebagai wujud bahwa orang Islam itu baik dan murah hati itu terjadi manakala Ahok bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berkunjung ke Blitar, Jawa Timur. Lagi-lagi, di kota itu, Ahok dielu-elukan. Dia disayang. Ia dicintai. Orang dari lintas iman merindukannya.
Mari kita renungkan jika tidak ada Islam yang rahmatan lil alamin, tidak ada orang Islam yang murah hati, fakta-fakta di atas tidak akan pernah terjadi.
Ahok bukan manusia yang sempurna. Ia bukan manusia super. Dia pun kerap khilaf disengaja atau tidak sengaja. Siapa yang menjadi “juru selamat” buat Ahok? Lagi-lagi orang Islam yang baik dan murah hati: Nusron Wahid lewat kata-kata dan atau Denny Siregar lewat tulisan. Tentu masih banyak yang lain, maaf kalau tidak saya sebut, sebab deretan nama orang Islam yang murah hati akan sangat panjang.
Saya juga sangat terharu dan tanpa terasa menitikkan air mata ketika membaca berita dan melihat foto yang tersebar di media sosial yang memperlihatkan begitu terbukanya para pengunjuk rasa penentang Ahok di sekitar Masjid Istiqlal menerima uluran tangan beberapa perempuan keturunan Tionghoa, anggota jemaat sebuah gereja yang membagi-bagikan makanan untuk santap siang. Duh, indahnya persaudaraan.
Lha, lalu bagaimana dengan para orator demo yang begitu garang berteriak-teriak agar Ahok ditangkap karena dianggap menistakan agama yang rahmatan lil alamin itu?
Mohon maaf, Anda jangan marah dan memaksa saya harus membenci saudara-saudara saya itu, sebab saya dengan kesadaran penuh sengaja menutup mata atas peristiwa “heboh” yang terjadi pada Jumat (14 Oktober) siang itu.
Saya tidak sudi pikiran saya menjadi liar, lalu menista orang Islam yang murah hati. Saya tidak mau menorehkan noda hitam atas orang-orang Islam di negeri tercinta yang selama ini saya kenal baik dan murah hati. Saya tidak berhak meragukan Islam yang rahmatan lil alamin.

Gantyo Koespradono
*Penulis adalah Wartawan Senior

Related

Terkini 2447607505870239232
Powered by Investing.com

TELEGRAM SAHAMPEMENANG

SAHAMPEMENANG PREMIUM

CNN Indonesia | Berita Ekonomi

Suara.com - Berita Terbaru Bisnis

Finansial - ANTARA News

okezone bisnis

Ekonomi - VoA

BUMN Untuk Indonesia - ANTARA News

Tempo Bisnis

Liputan Ekonomi VOA

Bursa - ANTARA News

Bisnis - ANTARA News

Ekonomi - ANTARA News

Berita Terkini - ANTARA News


item