Berteman Dekat Dengan Yang Beda Agama? Melawan Radikalisme Dengan Tidak Melawannya

Gw lagi mau cerita tentang survei dengan partisipasi terbesar yang gw pernah dapet. Jumlah vote yang masuk lebih dari 21 ribu suara! Pertanyaannya cukup sederhana:
“Apakah kamu punya teman dekat yang berbeda agama?”
Sebelum gw bercerita tentang hasilnya dan implikasinya, gw mau cerita asal mula kenapa gw membuat survei ini.
Hal ini berawal dari sebuah cerita teman, sebut saja Mawar. Suatu hari, Mawar bercerita kepada gw tentang sahabatnya, Melati, yang sedang cemas. Melati cemas mengikuti pemberitaan akhir-akhir ini di media massa mengenai kebencian berbasis SARA. Dari teriakan “Ganyang Cina!”, ajakan kebencian terhadap mereka yang berbeda agama, sampai kisah anak-anak kecil yang sudah diajarkan untuk tidak berteman dengan mereka yang berbeda agama. Mengapa Melati cemas? Karena kebetulan dia beretnis Cina dan beragama Kristen, dan di lingkungan tempat tinggalnya, dia menjadi double minority.
Teman gw Mawar adalah seorang Muslim, Jawa, dan dia bercerita bagaimana dia meyakinkan sahabatnya Melati, “Pokoknya Melati, kalau kamu pernah merasa terancam, kamu segeralah mengungsi ke rumahku. Jangan ragu2!” Dan Mawar bercerita bagaimana tawaran perikemanusiaan sederhana ini sangat berarti untuk menenangkan Melati.
Mawar adalah seorang mayoritas di lingkungannya (Jawa-Muslim) yang mau bersahabat dekat dengan seseorang yang berbeda agama. Gestur kemanusiaan yang ditawarkannya (menawarkan tempat berlindung) bagi gw adalah efek dari persahabatan mereka. Mendengar cerita itu, gw jadi mikir, apakah orang-orang seperti Mawar ini adalah kekecualian, “minoritas” di Indonesia, ataukah justru mereka adalah mayoritas?
Pemberitaan di media massa bisa mendistorsi persepsi kita tentang realita. Sesuatu yang sedang ramai diberitakan bisa terlihat sebagai fenomena ‘mayoritas’, padahal di dunia nyata insidennya kecil. Gw jadi inget pasca tragedi 9-11 di New York, banyak orang ketakutan naik pesawat terbang, padahal probabilita seseorang meninggal di insiden pesawat terbang (apapun, tidak hanya terorisme) sangatlah kecil. Yang terjadi adalah tragedi, ketika banyak orang memilih jalan darat (naik mobil), padahal probabilita kecelakaan di darat jauh lebih besar dari kecelakaan udara. Walhasil, jumlah korban kecelakaan lalu lintas di AS meningkat tajam pasca 9-11. (Artikel: https://www.theguardian.com/world/2011/sep/05/september-11-road-deaths)
Pemberitaan tentang intoleransi, kebencian dan diskriminasi SARA yang beredar di media cenderung menggambarkan Indonesia yang sudah berbahaya. Bagi kaum minoritas, tentunya berita-berita ini lebih menakutkan lagi. Tetapi kisah Mawar di atas membuat gw penasaran, sehingga membuat survei dengan pertanyaan: “Apakah kamu mempunyai teman dekat berbeda agama?”
Perbedaan agama dipilih karena menurut gw ini yang paling bisa memisahkan (divisive) menurut pemberitaan akhir-akhir ini. Selain itu, di Indonesia sering kali agama seseorang berkaitan dengan latar belakang etnis keluarganya, jadi bisa sekalian berhubungan.
Mengapa “teman dekat”? Karena bagi gw pertemanan adalah unit hubungan/relationship terkecil sesudah keluarga inti. Kita tidak bisa memilih keluarga kita, tetapi teman relatif lebih bisa dipilih sendiri. Pikir gw, jika masih banyak orang yang mau berteman dengan yang berbeda agama, atas pilihan sendiri, maka masih ada harapan bagi bangsa ini.
Jadi, gimana hasil dari survei 24 jam yang dibuka dari 25 Mei sampai 26 Mei ini? Lebih dari 21 ribu suara masuk. Tidak hanya itu, twit survei ini mendapat 900 reply, dalam bentuk berbagai kisah dan foto pertemanan agama. Untuk bisa melihat semua reply2 ini, silakan klik https://twitter.com/newsplatter/status/867607865631977472 .
Untuk pertanyaan “Apakah kamu punya teman dekat yang berbeda agama?”, pilihan jawaban yang tersedia adalah:
  • Punya! Tidak masalah
  • Pernah punya, tapi tidak lagi
  • Tidak pernah, tapi mau
  • Tidak pernah dan tidak mau
Dan ini hasilnya:
hasil-poll.png
Sebelum membahas hasilnya, gw berkewajiban memberi catatan penting mengenai interpretasi angka di atas. Yang paling penting: hasil survei belum tentu mewakili populasi. Angka yang ada hanya menjelaskan sampel responden yang mengikuti survei, karena survei tidak dilakukan kepada sampel acak (random). Mengapa catatan ini penting? Karena hasilnya bisa saja bias karena metode yang disebarkan melalui dan di-RT oleh followers akun @newsplatter, dan bisa saja profil followers ini berbeda dari populasi umum. Contoh ekstrim, kita tidak bisa melakukan survei masakan favorit orang Indonesia dengan hanya menyebar survei di RM Padang, karena kemungkinan hasilnya bias untuk masakan Padang.
Kewajiban memberi catatan/disclaimer sudah dilakukan, mari lanjut dengan hasilnya. Gw juga akan menyelipkan beberapa screen capture dari reply2 yang gw terima (jika ada yang keberatan reply/fotonya ditampilkan di sini, mohon beritahu dan akan gw cabut).
92% responden mengaku memiliki teman dekat yang berbeda agama. Hasil yang sangat-sangat tinggi. Jika ini digabung dengan 3% yang belum pernah tetapi mau (mungkin karena selama ini lingkungannya tidak memungkinkan berinteraksi dengan pemeluk agama lain), maka total kita mendapatkan 95% responden yang tidak berkeberatan memiliki teman dekat berbeda agama.
testi 47
Ada 4% responden yang mengaku dulu pernah memiliki teman dekat berbeda agama, tetapi sekarang tidak lagi. Survei ini memang tidak sampai menanyakan penyebabnya. Harus diingat ada beberapa alternatif penjelasan untuk jawaban ini:
  • Responden kehilangan teman dekat berbeda agama karena hal2 lain di luar agama (pertengkaran biasa, salah satu pindah tempat tinggal dan putus hubungan, drama karena mantannya pacaran sama temannya itu, dll.)
  • Responden secara aktif memutuskan pertemanan
  • Responden secara pasif diputuskan pertemanan. Ada beberapa reply yang menyebut kisah ini.
testi 35
Terakhir, ada 1% responden yang tidak pernah memiliki teman dekat berbeda agama dan memang tidak mau, apapun alasan mereka.
Dengan mengingat kemungkinan bias di disclaimer di awal, gw tetap bergembira dengan hasil dari survei ini. Menurut gw yang awam, bahkan jika kita anggap profil responden terlalu terkonsentrasi di kalangan mereka yang toleran dan mau berteman tanpa diskriminasi, angka yang sangat tinggi (92%+3%) rasanya tidak akan turun jauh sampai situasinya kebalikan jika sampel dilakukan secara acak.
testi 22
Melihat hasil survei, gw merasakan masih ada harapan Indonesia yang Bhinneka dan tidak dikoyak2 kebencian dan nafsu memecah belah. Kalau hanya melihat media dan pemberitaan, maka terkesan hanya ada bahaya dan perpecahan yang mengintai. Tetapi di survei ini ada begitu banyak orang Indonesia yang memiliki teman dekat mereka yang berbeda agama (seperti teman gw Mawar di atas), atau minimal tidak alergi untuk memulai pertemanan ini.
testi 29
Selain dari hasil survei, 900 (SEMBILAN RATUS! DALAM 24 JAM!) reply yang masuk juga sangat menyentuh dan inspiratif. Pembaca harus menelusuri sendiri thread reply yang ada. Apa yang saya selipkan di sini hanya sedikit sekali dari yang masuk, Ada begitu banyak cerita pertemanan lintas agama yang hangat di situ (dan ditengarai beberapa adalah kisah cinta tak sampai ala lagunya Marcel atau friendzone….)
testi 31
testi 13
Ada pertanyaan menarik dari akun @ujangw, “Bagaimana anak-anak yang teriak teriak ‘Bunuh! Bunuh!” itu bisa dibimbing untuk menerima perbedaan supaya mereka tumbuh menjadi seperti mereka [yang share story pertemanan lintas agama]?” Kemudian dia memikirkan apakah jawabnya adalah dengan “….early exposure to and frequent encounters with people of different faiths”.
testi 5
Yang dikatakan @ujangw mungkin ada benarnya. Gw memang pernah membaca artikel yang mengutip temuan bahwa mereka yang dalam kesehariannya bersentuhan dengan kelompok yang berbeda etnis/agama akan cenderung memiliki perilaku rasisme yang lebih rendah dan toleransi yang lebih tinggi, dibandingkan mereka yang kesehariannya hanya hidup dalam lingkungan homogen (sayangnya gw gak ketemu artikelnya di internet untuk di-share di sini).
testi 27
testi 46
Mungkin itu sebabnya banyak cerita yang masuk dari mereka yang biasa berinteraksi dengan orang yang berbeda agama di sekolah, perantauan, atau bergabung dengan organisasi/bekerja di kantor yang memang plural. Interaksi dan pertemuan beda latar belakang ini membantu membuka mata kita terhadap perbedaan, dan memudahkan merasakan empati. Tak kenal maka tak sayang. Tak berinteraksi maka tak berempati,
testi 43
testi 17
Dari cerita-cerita yang masuk, gw juga melihat kesamaan passion, hobi, bisa menjadi faktor perekat pertemanan yang mengatasi perbedaan agama. Hal ini bukan berarti agama menjadi tidak penting, tetapi bagi sebagian orang, agama adalah urusan pribadi antara seseorang dengan Tuhan-Nya, tetapi pertemanan bisa dilandaskan aktivitas dan kesamaan interest.
testi 34
Kesamaan itu bisa beragam, dari pilihan olahraga, aktivitas senggang, musik, kuliner, dan lain-lain. Saat kita bertemu dan berinteraksi dengan mereka yang berbeda di aktivitas yang sama, itu membantu kita menyadari mereka sebenarnya tidak ada bedanya dengan kita, dan biarkan ibadah dan kepercayaan adalah sesuatu yang dipraktikkan di dalam ranah privat mereka.
testi-25.png
testi 6
Mungkin itu sebabnya Kapolri Tito Karnavian dalam wawancara di acara “Rosi” Kompas TV menyebutkan, orang-orang yang rentan diradikalisasi oleh teroris seringkali digambarkan “pendiam” dan “penyendiri”. Seandainya mereka tergabung dalam organisasi aktivitas/hobi yang plural, mungkinkah lebih sulit untuk meradikalisasi mereka?
testi 7
testi 20
Hal lain yang bisa membantu pertemanan beda agama adalah adanya upaya aktif untuk mengerti kepercayaan mereka yang berbeda, dan mengapresiasinya. Ada banyak sekali kisah mereka yang non-Muslim mengingatkan temannya yang Muslim untuk shalat ataupu puasa, yang non-Kristen mengingatkan temannya yang Kristen untuk ke gereja/berdoa, dan banyak lagi contoh-contoh perilaku aktif menghargai kepercayaan teman yang berbeda.
testi 45testi 42testi 40
Hal sederhana lain seperti tidak segan untuk menghadiri seremoni/acara ibadah dari teman dengan kepercayaan berbeda juga menjadi gestur powerful bahwa agama dan kepercayaan tidak harus menjadi pemisah, tetapi justru memperkaya pertemanan itu sendiri.
testi 49testi 44testi 33testi 28
testi 14
Tulisan Disty Julian “Tuhan Tidak Berbicara Bahasa Manusia” ini juga menarik, mengisahkan pengalamannya sebagai Muslim menghadiri kebaktian Nasrani di kantornya, dan bagaimana ia menemukan pengalaman spiritual yang universal.
Kalau kita melihat cuplikan kisah di atas, maka tampak bahwa upaya untuk mengerti dan menghargai ini berjalan dua arah. Ada kaum minoritas yang mau mengerti kaum mayoritas, ada juga kaum mayoritas yang mau mengerti kaum minoritas. Perbedaan terjadi secara sejajar, equal, tidak ditimpangkan oleh status “mayoritas” atau “minoritas”.
testi 19
testi 32testi 23
testi 10testi 11
Melawan radikalisme dengan tidak melawannya
Kembali ke soal meningkatnya radikalisme seperti yang diberitakan media. Apakah hasil survei yang “positif” di atas artinya kita bisa berpangku tangan karena segala sesuatu ternyata “baik-baik saja”? Menurut gw sih nggak ya. Kenyataannya memang tampaknya ada peningkatan di dalam penyebaran ajaran kebencian, upaya-upaya mengoyak masyarakat majemuk kita dengan adu domba, sampai upaya mencemari otak anak-anak kita dengan ajaran jahat. Walaupun secara skala mungkin tidak sebesar seperti yang dikesankan oleh media, kita harus tetap waspada sebelum ajaran kebencian ini makin besar dan suatu hari kita terbangun dan segalanya sudah terlambat.
testi 50
Hanya saja, kisah-kisah inspiratif di atas membuat gw berpikir, mungkin ada strategi yang berbeda untuk melawa radikalisme. Yaitu melawan radikalisme dengan tidak melawannya. Lho, maksudnya gimana?
Saat ini, kita melawan setiap isu dan berita radikalisme dengan membahasnya, mengutuknya, mendebatnya, mencoba mencari ayat/dalil lawannya. Gw gak bilang bahwa kita tidak boleh menuntut tindakan tegas jika aktivitas kebencian sudah melanggar hukum, tetapi terkadang gw merasa kita sebagai masyarakat menjadi terobsesi dengan radikalisme/intoleransi, dan akibatnya, radikalisme dan kebencian justru menjadi semakin populer.
Ambil contoh cuplikan video berisi pidato kebencian SARA, atau video pawai anak yang berteriak ‘bunuh!’ Semua orang sibuk menyebarkan dan memviralkan konten-konten tersebut sambil bersumpah-serapah, mengutuk, menyalahkan pemerintah, dll. Tetapi dengan cara perlawanan frontal dan obsesif ini, kita sudah membantu mempopulerkan kebencian dan radikalisme itu sendiri. Ada efek kontraproduktif di sini. Di buku “Yes! 50 Secrets from The Science of Persuasion” tulisan Golstein, Martin, dan Cialdini, ini disebut negative social proof. Walaupun niat kita baik dalam mengangkat masalah sosial ke permukaan, tetapi jika berlebihan justru memberikan sinyal bahwa ini adalah hal yang lumrah dan menjadi norma baru. Inilah ironi dari melawan radikalisme dengan cara mempopulerkan aksi radikalisme itu sendiri.
testi 3
Banjirnya kisah-kisah positif pertemanan lintas agama ini membuat gw berpikir, daripada kita terlalu obsesif mempopulerkan kejahatan dan intoleransi, mengapa justru kita tidak mengangkat dan mempopulerkan kisah-kisah kebaikan, toleransi, dan kasih sayang? Banyak sekali feedback dari mereka yang membaca kisah-kisah di thread survei di atas bahwa mereka mendapat perasaan positif, hangat, dan menenangkan. Inilah positive social proof (lawan dari negative social proof), yang bisa lebih efektif mengajak orang berbuat baik dengan mempopulerkan kebaikan orang lain, daripada terobsesi dengan membahas kejahatan.
testi 51
Melawan radikalisme dengan tidak melawan radikalisme artinya mengurangi menjerit, mendebat, dan mengutuk aksi kebencian dan radikalisme, tetapi justru lebih banyak mengangkat kisah-kisah positif seperti di atas. You don’t fight fire with fire. You drown it with water.
92% responden memiliki teman dekat yang berbeda agama. Setiap kisah pertemanan ini bagaikan mata rantai yang bersama membentuk baju zirah besi membendung kebencian dan intoleransi. Jika semua yang termasuk dalam 92% ini mulai berani mengangkat suara dan sikap, bahwa kita menolak diadu-domba, menolak ditakut-takuti kebencian, menolak doktrin pemecah, maka niscaya suara radikal dan kebencian akan kalah dan tenggelam dengan jutaan kisah positif dari lebih banyak orang.
testi 38
Jangan bergantung pada pemerintah
Kemalasan adalah berharap semua masalah masyarakat harus diselesaikan pemerintah. Ada beberapa masalah yang memang hanya bisa diselesaikan pemerintah. Tetapi dalam soal intoleransi, kebencian terhadap golongan lain, dan hasutan pemecah kesatuan, maka senjata pamungkas itu justru ada di kita masing-masing. Di dalam pertemanan yang tulus, tanpa membedakan agama dan suku, ada superpower dahsyat untuk membela Republik ini. Apa hal-hal kecil yang bisa dilakukan setiap kita?
testi 21
  • Jika kita adalah minoritas di dalam suatu lingkungan, dan kita merasa ketakutan, jangan segan untuk berbicara kepada teman dekat dari kelompok mayoritas untuk menyatakan keresahan kita
  • Jika kita adalah mayoritas di suatu lingkungan, jangan ragu untuk bertanya kepada teman kita yang minoritas apakah mereka tidak apa-apa. Seringkali mereka yang sedang ketakutan justru menutup diri dan tidak berani bercerita duluan. Reach out to them, care for themThat’s what friends are for.
  • Tenggelamkan berita dan isu kebencian dengan kisah kebaikan, toleransi, dan kasih sayang dari kita. Jangan malah memberi panggung lebih besar kepada orang-orang jahat. Daripada sibuk men-share berita-berita negatif, “tenggelamkan” itu semua dengan kisah persahabatan, posting aktivitas pertemanan lintas suku dan agama kita. Berikan porsi panggung social media lebih banyak untuk kisah kemanusiaan dan toleransi daripada kejahatan,
testi 39
Penutup
Sesudah melihat hasil survei ini, dan membaca ratusan kisah yang masuk, gw merasakan harapan akan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika itu masih hidup dan menyala. Kekuatan Indonesia dan kesaktian Pancasila itu masih ada, tersebar di jutaan lembar persahabatan Indonesia yang menjunjung kemanusiaan, yang menolak membenci, dan memilih persatuan daripada perpecahan.
Inilah bentuk perlawanan kita, dalam bentuk persahabatan yang damai. Meminjam istilah teman saya @rayafahreza, “Rise in Peace“. Perdamaian dan harmoni harus terus dijaga. Unite and resist. Kita semua harus bersatu dan terus melawan ajaran kebencian dalam keseharian kita.
testi 52
Kita mungkin khawatir melihat edaran video anak-anak kecil yang sudah dimanipulasi untuk membenci. Tetapi, sudahkah kita menyebarkan harapan dalam bentuk kisah anak-anak Indonesia yang dididik untuk menyayangi tanpa membedakan, seperti di bawah ini?
testi 48
Jangan menyerah akan Indonesia. Mari ‘tenggelamkan’ kebencian dan perpecahan dengan ombak persahabatan. Dan itu butuh kita semua.
🙂

Advertisements

11 Comments »

  1. Waktu Smp punya temen sebangku yang berbeda agama, dia Kristen dan sejujurnya aku gak masalah sama agamanya dia. Tetapi tidak dengan teman2 sekelas 😢. Padahal dia punya kepribadian yang asik, gak pernah marah, murah senyum pula. Moment yang paling gak bisa dilupakan waktu dia nulis bio di binder aku (jaman itu ngumpulin biodata temen itu wajib 😂) dia tulis “Agama: 100% Islam” sambil senyum. Dan aku cuma bisa bengong 😩 aku rasa dia menegaskan hal itu untuk menyenangkan temen2 yang lain, teman2 yang memandang bahwa berbeda agama itu sesuatu yang janggal 😢 (dia sering banget ditanya sama temen2 yang lain dengan kalimat sinis “kamu Kristen?”) sesering kali itu juga dia menyangkal 😥
    Miss you Budiarti, dimanapun kamu berada sekarang, kamu udah ngajarin aku bahwa pertemanan itu tidak memandang “agama kamu apa?” 😊
  2. Pagi-pagi baca tulisan inspiratif nan keren ini karena muncul di FB. Sungguh bukan menyia-nyiakan waktu di awal hari ini. Ya, perbedaan dalam persatuan itu sungguh mengagumkan. Terima kasih sudah berbagi! 🙂
  3. Terima kasih banyak.. post Anda sudah menghibur n menginspirasi saya yang sedih banget n rasanya hopeless kl baca-baca berita belakangan ini.. “Jangan menyerah akan Indonesia. Mari ‘tenggelamkan’ kebencian dan perpecahan dengan ombak persahabatan”.. keren banget! 👍. Jangan lupa kita selalu mendoakan bangsa & negara ini. Indahnya Bhinneka Tunggal Ika
  4. Waktu ada kerusuhan umat beragama di Lombok (tahun 2000sekian), tetangga yang Kristen mengungsi ke Bali dan rumahnya dijagain sama orang satu komplek (ada yang Muslim dan Hindu). Dari kecil saya bergaul dengan non Muslim, main sama-sama, menghormati perayaan agama masing-masing. Kenapa sekarang jadi sesuatu yang diperjuangkan banget ya hal-hal begini?
  5. Iya mas, teman saya juga bermacam2 baik suku, agama, dan ras, dan kami yang sudah biasa dengan perbedaan terbiasa untuk saling menghargai dan membawa diri kami masing2 tanpa kehilangan identitas kami.
  6. Di sekolah dulu di lampung km bersahabat dgn byk agama les bergantian rumahnya .itu sangat menyenangkan
  7. Foto anak2 terakhir mengingatkan masa kecil sy 30 thn yg lalu. Indonesia dihancurkan ulah elite2 politik yg memikirkan golongan mereka sendiri. Bersatulah!
  8. We are all only human afterall, and with respect and tolerance we can maintain unity in diversity 🙂
    Selama berteman dengan teman-teman yang berbeda agama sampe 25 tahun ini, Saya ga ngerasa ada hal yang tidak nyaman. Kenapa musti menciptakan ketidaknyamanan atas nama perbedaan di tengah kedamaian? 🙂
  9. Mungkin lapor-melapor, rasis dan kurang toleran terjadi karena waktu kecil ga mungkin satu sekolah buat main kelereng bareng atau mabal bareng. Yang Islam di sekolah Islam, yang Katolik di sekolah Katolik, yang kaya di sekolah mahal, yang pas-pasan di sekolah murah. beruntung sampai sekarang selalu di institusi negeri yang ada keanekaragaman.
    —-
    MM: If you don’t have standardized tests here in Finland,how do you know which schools are the best? You know, people need a list.
    FM: The neighborhood school is the best school. It is not different than the school which can be, for example,
    situated in the town center, because all the schools in Finland, they are all equal.
    T1: When we move to a new city, we never ask where the best school is. It’s never a question.
    T2: So nobody has to shop for schools.
    T1: There’s nothing different in any of our schools. They are the same.
    MM: It is illegal in Finland to set up a school and charge tuition. That’s why, for the most part, private schools don’t exist. And what that means is that the rich parents have to make sure that the public schools are great. And by making the rich kids go to school with everyone else, they grow up with those other kids as friends. And when they become wealthy adults, they have to think twice
    before they screw them over.
    [Where to Invade Next?]

Leave a Reply