PETA PERANG DAGANG US-CHINA

 Pemerintahan Donald Trump, Jumat (15/6) lalu telah mengumukan akan memberlakukan tarif hingga 25% terhadap barang-barang Cina dengan ni...


 Pemerintahan Donald Trump, Jumat (15/6) lalu telah mengumukan akan memberlakukan tarif hingga 25% terhadap barang-barang Cina dengan nilai hingga US$ 50 miliar. Kebijakan ofensif itu adalah salah satu upaya Amerika Serikat (AS) untuk melindungi kekayaan intelektual dan teknologi AS agar kembali ke AS.

Keputusan tersebut seperti diberitakan oleh Reuters, langsung direspon oleh Beijing. Sebagai pembalasan, Cina akan menggunakan langkah dan instrumen perpajakan dengan skala dan kekuatan yang sama. Target Cina adalah pengenaan pajak pada impor energi dari AS.
Awal perang dagang antara dua kekuatan ekonomi besar sudah di depan mata. Lalu, apakah Cina bakal terpuruk karena kebijakan proteksionisme Donald Trump.
Analisis menarik dikemukakan oleh Teresa Clare Barger, pendiri dan CEO pada Cartica Management. Dalam opininya yang dilansir di CNBC.com, Barger mengungkapkan bahwa pada awalnya ekonomi Cina bakal sedikit terguncang. Namun tidak beberapa lama Cina justru akan menyusun kekuatan ekonomi barunya.
Barger melihat upaya Trump mengembalikan hilangnya pekerjaan dan kekayaan intelektual yang lari ke Cina tidaklah mudah. Butuh waktu lama dan proses yang tidak mudah. Apalagi jika tujuan utamanya adalah untuk mengurangi defisit neraca perdagangan AS-Cina, dari sekitar US$ 370 miliar menjadi US$ 200 miliar pada tahun 2020.
Soal defisit neraca dagang, Barger menilai ada titik pijakan yang keliru, karena perkiraan defisit US$ 370 miliar itu tidak memperhitungkan nilai tambah dari ekspor Cina. Menurutnya, defisit dagang AS dengan Cina sebenarnya hanya setengahnya saja. Karena ada banyak uang yang dibawa AS dari investasi di Cina. Mengutip laporan Oxford Economics, jika nilai tambah investasi itu diperhitungkan maka defisit AS-Cina menyusut dari 2% PDB AS menjadi 0,8%
Nah langkah berikutnya, agar jurang defisit tidak terlalu dalam, maka Amerika akan lebih sedikit membeli barang dan jasa Cina. Sebaliknya Cina dipaksa untuk membeli lebih banyak barang dan jasa AS. Apakah hal itu akan mudah tercapai? Menurut Barger, faktanya akan sulit bagi perusahaan AS meningkatkan ekspor ke Cina, bahkan ketika perusahaan beroperasi pada kapasitas penuh dan hampir tidak ada lagi yang mengganggur.
Kini dengan pengenaan tarif atas barang-barang berteknologi tinggi yang dibuat di Cina, maka nilai tambah investasi yang dibawa kembali ke AS akan terganggu. Menurut Barger, jika Trump benar-benar berniat mempengaruhi neraca perdagangan, maka mestinya akan mengenakan tarif pada sektor-sektor di mana nilai tambah Cina adalah yang tertinggi. Seperti misalnya tekstil, di mana 75% dari nilai tambah benar-benar untuk Cina.
Isu lain yang diangkat Trump terkait kebijakan tarif atas barang-barang elektronik dari Cina adalah soal pengambilan kekayaan intelektual (intellectual property/IP) AS oleh perusahaan-perusahaan Cina. Ada tiga aktivitas yang menjadi sorotan, yakni: spionase perusahaan,  kejahatan dunia maya (cybertheft) dan pertukaran teknologi untuk akses pasar.
Salah satu kebijakan Cina yang telah lama berlaku adalah mengharuskan perusahaan asing yang ingin melakukan bisnis di Cina untuk membentuk usaha patungan dengan perusahaan Cina. Keluhan umum tentang usaha patungan ini adalah bahwa mereka membuka pintu bagi perusahaan Cina yang berpotensi mencuri rahasia dagang dan kemudian menggunakan IP itu untuk membangun dan menumbuhkan industri Cina dalam segala hal mulai dari mobil dan telepon pinter hingga obat-obatan.
Pemerintah AS memperkirakan bahwa dugaan pemanfaatan IP bersama dengan spionase langsung perusahaan telah merugikan perekonomian AS, antara US$ 225 miliar hingga US$ 600 miliar per tahun. Cina kini telah banyak menguasai berbagai hak kekayaan intelektual yang mumpuni untuk mengembangan teknologi canggihnya.
Meributkan soal IP, menurut Barger sudah begitu terlambat. Kini Cina tidak lagi membutuhkan aturan usaha patungan di banyak industri, karena beberapa sektor dan perusahaan sudah kompetitif untuk bersaing dengan perusahaan-perusahaan dari AS.
Bulan April 2018 lalu, Cina setuju untuk mengurangi peraturan ketat terhadap perusahaan otomotif asing yang beroperasi di China. Itu sebuah sinyal kuat bahwa kualitas mobil Cina, termasuk kendaraan otonom dan listrik, meningkat dengan cepat.
Selain itu, belum lama ini juga diumumkan bahwa orang asing tidak lagi memerlukan izin khusus untuk berinvestasi. Mereka hanya dilarang berinvestasi di sektor yang masuk "daftar negatif" industri.
Saat ini, Cina mengekspor lebih dari US$ 2 triliun barang per tahun, dan hanya sekitar US$ 400 hingga US$ 500 miliar yang masuk ke AS. Sementara itu, bagi Amerika, Cina merupakan mitra dagang terbesarnya. Jika Amerika menghalangi produk Cina dengan pengenaan tarif yang tinggi, maka ‘’negeri panda’’ itu masih memiliki pasar yang luas di seluruh dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara dan India yang makin makmur.
Selain itu, Cina telah melakukan terobosan besar ke Amerika Latin dan Afrika melalui pendanaan proyek-proyek infrastruktur yang disponsori pemerintah dan swasta. Investasi jangka panjang itu akan memberi pemasukan yang signifikan di masa depan, karena konsumen potensial sudah akrab dengan banyak produk Cina.
Dalam hal produksi dan penguasaan teknologi tinggi, Presiden Xi Jinping memiliki visi jangka panjang, yakni Cina 2025. Visi tersebut mencakup cetak biru untuk menjadikan Cina sebagai kiblat dari rantai nilai dengan meningkatkan kandungan domestik bahan-bahan inti dari produk Cina. Tujuan Cina 2025 adalah memimpin dunia dalam teknologi canggih, seperti kecerdasan buatan (AI), kendaraan otonom, mobil listrik, teknologi hijau, dan bioteknologi.
Kemajuan teknologi tersebut terkait dengan kesepakatan perdagangan terbaru di mana Cina semakin terdorong untuk melindungi IP-nya sendiri daripada mencoba mencuri IP asing. Menurut Barger, pemerintah Cina sudah masuk dalam upaya memecahkan persoalan dimana mereka harus membangun ekonomi berkelanjutan yang dinamis untuk 20 tahun ke depan. Cina ingin menjadi pemimpin global dalam industri yang dinamis dengan kemampuan teknologi tingkat tinggi.  
Pemaksaan tarif yang kaku dari Trump pada produk elektronik Cina kemungkinan hanya berdampak singkat. Kebijakan itu, hanya akan membuat Cina lebih giat mencari pasar baru dan berdikari dalam penguasaan teknologi bersama hak kekayaan intelektualnya.
Sumber : gatra

Related

Terkini 1704784919416716165
Powered by Investing.com

TELEGRAM SAHAMPEMENANG

SAHAMPEMENANG PREMIUM

CNN Indonesia | Berita Ekonomi

Suara.com - Berita Terbaru Bisnis

Finansial - ANTARA News

okezone bisnis

Ekonomi - VoA

BUMN Untuk Indonesia - ANTARA News

Tempo Bisnis

Liputan Ekonomi VOA

Bursa - ANTARA News

Bisnis - ANTARA News

Ekonomi - ANTARA News

Berita Terkini - ANTARA News


item