TPR : EKONOMI INDONESIA KUAT
Pengusaha Theodore Permadi Rachmat, yang telah melewati masa-masa ekonomi sulit, mengatakan jangan melihat ekonomi dari devaluasi ni...
https://sahampemenang.blogspot.com/2018/09/tpr-ekonomi-indonesia-kuat.html
Pengusaha Theodore Permadi Rachmat, yang telah melewati masa-masa ekonomi sulit, mengatakan jangan melihat ekonomi dari devaluasi nilai tukar semata. Menurut dia, inflasi tinggi lebih mengerikan karena membuat masyarakat bawah tak sanggup membeli kebutuhan pokok.
Saat kebanyakan pelaku usaha kelimpungan melihat rupiah yang limbung, Theodore Permadi Rachmat, 74 tahun, adem-ayem saja. Pengalamannya berbisnis selama lima puluh tahun membuatnya yakin bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi ekonomi Indonesia sekarang. “Di masa Presiden Soeharto, devaluasi sering sekali. Enggak ada masalah. Ini mah kecil,” ujar pendiri Triputra Group itu.
Theodore telah melewati masa-masa ekonomi sulit, dari 1997-1998, 2005, 2008, hingga terakhir tahun ini. Ia meminta kondisi ekonomi tidak dilihat dari penurunan nilai tukar semata. Rupiah yang melemah, kata dia, hanya berdampak hebat terhadap importir. Selama konsumen tidak menggunakan barang impor, tidak ada pengaruhnya. “Inflasi tinggi lebih mengerikan karena membuat masyarakat bawah tidak sanggup membeli barang kebutuhan pokok,” ujarnya kepada wartawan Tempo Reza Maulana dan Andi Ibnu dalam wawancara khusus di kantor PT Kirana Megatara—anak usaha Triputra yang bergerak di bidang perdagangan karet—di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu petang pekan lalu.
Ia menilai situasi perekonomian Indonesia saat ini berbeda dengan masa krisis ekonomi 1998. Kala itu, perbankan terkena krisis dan inflasi melambung hingga 77 persen. Saat ini, inflasi Indonesia 3,2 persen. Pada 1998, selain ekonomi, politik mengalami krisis.
Sebagai pengusaha, bagaimana Anda membandingkan situasi sekarang dengan krisis ekonomi 1997-1998?
Bedalah. Waktu itu, perbankan rusak. Inflasi tinggi (sempat menyentuh 77 persen). Sekarang inflasi kita 3,2 persen. Sebelum tiga tahun terakhir, inflasi kita tidak pernah di bawah 5 persen. Itu yang penting. Inflasi jangan naik.
Mungkinkah pemilihan presiden dan Pemilihan Umum 2019 memperlemah rupiah?
Menurut saya, tidak, karena aturan main di politik lebih ketat. Jauh benar dengan situasi 1998.
Apa pandangan Anda terhadap upaya pemerintah menahan pelemahan rupiah?
All in all, it’s okay. Pemerintah memotong biosolar 20 persen, impor dikurangi, penjadwalan ulang proyek-proyek besar. Sudah benar semua. Saya sangat mengapresiasi apa yg telah dilakukan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Bank Indonesia sudah melakukan langkah-langkah yang tepat. Sekarang, setiap kali beli dolar mesti ada underlying transaction. Jadi terkontrol. Yang penting, jangan panik. Tahun depan pemerintah menargetkan defisit fiskal kita kurang dari 2 persen. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Penyebabnya, banyak uang masuk dari pajak.
Beberapa waktu lalu, Anda dipanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla. Membicarakan apa?
Saya sampaikan, program biofuel B20 sudah bagus, mengganti 20 persen impor solar dengan konten lokal, yaitu minyak kelapa sawit. Kalau jalannya sudah benar, kenapa tidak dipercepat? Misalnya ke B25 atau B30. Saya juga sampaikan usul tambahan, yaitu kembali menerapkan biaya fiskal luar negeri. Itu sama dengan ajakan menghabiskan uang di dalam negeri saja. Kenapa mesti spend di luar negeri? Pariwisata di Indonesia kan banyak dan bagus.
tempo
Saat kebanyakan pelaku usaha kelimpungan melihat rupiah yang limbung, Theodore Permadi Rachmat, 74 tahun, adem-ayem saja. Pengalamannya berbisnis selama lima puluh tahun membuatnya yakin bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi ekonomi Indonesia sekarang. “Di masa Presiden Soeharto, devaluasi sering sekali. Enggak ada masalah. Ini mah kecil,” ujar pendiri Triputra Group itu.
Theodore telah melewati masa-masa ekonomi sulit, dari 1997-1998, 2005, 2008, hingga terakhir tahun ini. Ia meminta kondisi ekonomi tidak dilihat dari penurunan nilai tukar semata. Rupiah yang melemah, kata dia, hanya berdampak hebat terhadap importir. Selama konsumen tidak menggunakan barang impor, tidak ada pengaruhnya. “Inflasi tinggi lebih mengerikan karena membuat masyarakat bawah tidak sanggup membeli barang kebutuhan pokok,” ujarnya kepada wartawan Tempo Reza Maulana dan Andi Ibnu dalam wawancara khusus di kantor PT Kirana Megatara—anak usaha Triputra yang bergerak di bidang perdagangan karet—di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu petang pekan lalu.
Ia menilai situasi perekonomian Indonesia saat ini berbeda dengan masa krisis ekonomi 1998. Kala itu, perbankan terkena krisis dan inflasi melambung hingga 77 persen. Saat ini, inflasi Indonesia 3,2 persen. Pada 1998, selain ekonomi, politik mengalami krisis.
Sebagai pengusaha, bagaimana Anda membandingkan situasi sekarang dengan krisis ekonomi 1997-1998?
Bedalah. Waktu itu, perbankan rusak. Inflasi tinggi (sempat menyentuh 77 persen). Sekarang inflasi kita 3,2 persen. Sebelum tiga tahun terakhir, inflasi kita tidak pernah di bawah 5 persen. Itu yang penting. Inflasi jangan naik.
Mungkinkah pemilihan presiden dan Pemilihan Umum 2019 memperlemah rupiah?
Menurut saya, tidak, karena aturan main di politik lebih ketat. Jauh benar dengan situasi 1998.
Apa pandangan Anda terhadap upaya pemerintah menahan pelemahan rupiah?
All in all, it’s okay. Pemerintah memotong biosolar 20 persen, impor dikurangi, penjadwalan ulang proyek-proyek besar. Sudah benar semua. Saya sangat mengapresiasi apa yg telah dilakukan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Bank Indonesia sudah melakukan langkah-langkah yang tepat. Sekarang, setiap kali beli dolar mesti ada underlying transaction. Jadi terkontrol. Yang penting, jangan panik. Tahun depan pemerintah menargetkan defisit fiskal kita kurang dari 2 persen. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Penyebabnya, banyak uang masuk dari pajak.
Beberapa waktu lalu, Anda dipanggil Wakil Presiden Jusuf Kalla. Membicarakan apa?
Saya sampaikan, program biofuel B20 sudah bagus, mengganti 20 persen impor solar dengan konten lokal, yaitu minyak kelapa sawit. Kalau jalannya sudah benar, kenapa tidak dipercepat? Misalnya ke B25 atau B30. Saya juga sampaikan usul tambahan, yaitu kembali menerapkan biaya fiskal luar negeri. Itu sama dengan ajakan menghabiskan uang di dalam negeri saja. Kenapa mesti spend di luar negeri? Pariwisata di Indonesia kan banyak dan bagus.
tempo