NURANI DI TENGAH KESERAKAHAN
Awal kegelisahan Sophan dimulai ketika suatu pagi ia membuka laci meja kantornya. Ia mendapati selembar Cek Kontan sejumlah 60 juta rup...
https://sahampemenang.blogspot.com/2019/10/nurani-di-tengah-keserakahan.html
Awal kegelisahan Sophan dimulai ketika suatu pagi ia membuka laci meja kantornya. Ia mendapati selembar Cek Kontan sejumlah 60 juta rupiah. Sophan menanyai satu persatu teman-temannya di Gedung DPR itu. Beberapa orang menjawab dengan tersenyum: "Sudah lah, terima saja....".
Beberapa lama kemudian seusai suatu rapat, seorang rekannya memasukkan lagi amplop berisi uang 20 juta rupiah. Lagi-lagi ia mendapat jawaban yang sama: "Sudahlah, terima saja".
Hari selanjutnya ia menolak keras pemberian apapun, selain gajinya. Dan perlahan teman-temannya mulai menjaga jarak dengannya.
Hari-hari berlalu, dan seorang Sophan Sophian mulai sulit tidur. Ia gelisah, teringat pesan sang Ayah: "Bila kelak hidupmu sudah sukses, kau harus mengabdikan dirimu untuk Bangsamu".
Namun di posisi sekarang ia merasa bagai berada di alam gersang, tiada kesejukan. Ia tidak tahan dengan lingkungannya, tidak mampu melihat apa yang berlangsung di depan matanya.
Ia memang telah menjadi orang yang sukses, aktor papan atas dan seorang produser film. Tapi di gedung ini, ada hal yang ia rasa mengganjal. Di malam-malam kegalauan, sang istri menganjurkannya untuk mengambil keputusan. Meneruskan atau berhenti, mengundurkan diri.
Sophan hanya aktif di DPR sekisar 1,5 tahun, resminya dua tahun. Ia mengajukan pengunduran diri dengan alasan kesehatan. Cek kontan dan uang di amplop, tetap utuh di laci mejanya sampai hari terakhir Sophan mengundurkan diri. Uang itu terbilang sangat kecil bila saja ia mau ikut arus. Ada bermilyar-milyar bila tangannya membuka, menerimanya.
Ia memilih kembali aktif lagi di dunia film, habitatnya. Baginya, tidak mungkin menjalani hidup di dua muka, yaitu: kemunafikan !
Beberapa lama kemudian seusai suatu rapat, seorang rekannya memasukkan lagi amplop berisi uang 20 juta rupiah. Lagi-lagi ia mendapat jawaban yang sama: "Sudahlah, terima saja".
Hari selanjutnya ia menolak keras pemberian apapun, selain gajinya. Dan perlahan teman-temannya mulai menjaga jarak dengannya.
Hari-hari berlalu, dan seorang Sophan Sophian mulai sulit tidur. Ia gelisah, teringat pesan sang Ayah: "Bila kelak hidupmu sudah sukses, kau harus mengabdikan dirimu untuk Bangsamu".
Namun di posisi sekarang ia merasa bagai berada di alam gersang, tiada kesejukan. Ia tidak tahan dengan lingkungannya, tidak mampu melihat apa yang berlangsung di depan matanya.
Ia memang telah menjadi orang yang sukses, aktor papan atas dan seorang produser film. Tapi di gedung ini, ada hal yang ia rasa mengganjal. Di malam-malam kegalauan, sang istri menganjurkannya untuk mengambil keputusan. Meneruskan atau berhenti, mengundurkan diri.
Sophan hanya aktif di DPR sekisar 1,5 tahun, resminya dua tahun. Ia mengajukan pengunduran diri dengan alasan kesehatan. Cek kontan dan uang di amplop, tetap utuh di laci mejanya sampai hari terakhir Sophan mengundurkan diri. Uang itu terbilang sangat kecil bila saja ia mau ikut arus. Ada bermilyar-milyar bila tangannya membuka, menerimanya.
Ia memilih kembali aktif lagi di dunia film, habitatnya. Baginya, tidak mungkin menjalani hidup di dua muka, yaitu: kemunafikan !
copasan wag